TEOLOGI MAKAN

04
Jul

TEOLOGI MAKAN
Kej. 2:15-17: 3:1-6; Why. 3:20

Sadar atau tidak ternyata kita semua mengawali hidup ini melalui makan. Dimana makan sebagai pengalaman perjamuan yang erat antara ibu dan anak sejak dalam kandungan, juga saat menyusu asi yang darinya kita memperoleh kekuatan. Hubungan ini tidak sekedar ibu memberi asi, ternyata di dalamnya ada makna relasional/menjalin hubungan dan spiritual. Dan akhirnya, saudara mau mengakui atau tidak, kita semua berkembang dari makan yang disuapi, menjadi makan sendiri dan mencari makan sendiri, dan banyak kasus darurat kita makan melalui selang infus. Dan di sanalah akhir-akhir kita bisa makan dan mungkin juga makan yang terakhir.

Seiring semakin majunya peradaban manusia, di mana makna makan juga telah mulai bergeser, dan terciptanya suatu kebiasaan baru – trend – yang tidak jelas arahnya. Makan memiliki berbagai makna.

A. Anggapan Sebagian Orang Soal Makan
Konsep umum karena alasan kesehatan, maka makan adalah sesuatu keharusan. Kita sering berkata kepada anak kita, ayo makan kalau tidak makan nanti bisa masuk angin atau sakit maag. Bagaimanapun usaha dan caranya mendapatkan makanan yang pasti tujuannya adalah agar tetap sehat. Ada juga yang berkonsep lain, mereka melakukan ritual makan itu untuk kesenangan – just for fun. Sehingga, kerap kali mengadakan berbagai acara seperti bakar ikan, jagung bakar, rujakan atau apalah namanya, yang pokok bisa membuat senang. Ada yang lebih rohani yah membina keakraban/persekutuan. Konsep yang satu ini mungkin jarang terjadi, bahwa makan itu sebagai prestige – atau ajang adu gengsi. Konsepnya sederhana kita adalah apa yang kita makan, tapi jangan lupa juga, bahwa kita adalah bagaimana kita makan.

B. Makan Sebagai Ujian dan Peringatan
Makan bisa menjadi ajang ujian dan ajang peringatan/awasan. Kasus Adam dan Hawa, pernahkah terpikirkan mengapa Tuhan Allah memberi suatu aturan ujian ketaatan melalui makan? Mengapa bukan hal lain yang dijadikan aturan ujian ketaatan? Perhatikan Kejadian 3:6, yang memberi alasan kenapa Hawa mau makan: baik untuk dimakan = baik untuk jasmani, sedap kelihatannya = baik untuk emosi, menarik hati karena memberi pengertian = baik untuk pikiran. Jadi, orang makan bukan semata-mata pemenuhan kebutuhan jasmani saja, tetapi juga dorongan emosi dan pikiran yang mesti dipenuhi. Akibatnya Adam dan Hawa berdosa gara-gara makan, mereka gagal mengusai keinginannya, dan gagal mentaati perrintah Allah.

Esau pernah jatuh dalam dosa karena soal makan. Ia tidak lagi menghargai bahkan cenderung hidup seperti tidak ber Tuhan, dan menganggap perutnya sebagai Tuhannya. Esau, seperti juga Ishak bapanya, hidup untuk makan dan bukan makan untuk hidup. Itulah sebabnya Ia dengan mudah menukarkan hak kesulungannya dengan semangkok kacang merah. Imam Eli pernah gagal mendidik anak-anaknya terutama dalam soal makan. Ia tidak mendisiplin anak-anaknya yakni Hofni dan Pinehas soal makan. Sampai-sampai daging persembahan yang seharusnya menjadi milik Tuhanpun disapunya – dilahapnya – tanpa pernah merasa bersalah (I Sam. 2:12-15). Hukuman mati adalah ganjaran yang diberikan oleh Tuhan bagi kedua anak Eli.

C. Teologia Makan
Apakah masih ada nilai-nilai lain dari makan selain sekadar untuk kesehatan, kesenangan, prestise. Teologi makan bukanlah hal yang baru, tetapi sesuatu yang sudah sejak dulu di ajarkan Alkitab. Hanya saja mungkin kita tidak tahu, atau mengabaikannya. Akibatnya, makna makan menjadi kabur. Apa makna makan yang bisa kita pelajari dari teologi makan:

  1. Makan Sebagai Persekutuan
    Makan bukan saja cara pemenuhan gizi/vitamin bagi tubuh tapi juga untuk persekutuan. Ada orang tua waktu makan bersama merupakan kesempatan memberi nasehat dan penerapan disiplin pada anaknya. Bagi sebuah keluarga besar, makan menjadi ajang kebersamaan, disana diharapkan yang tidak akur bisa akur, yang jarang bertemu disana bisa bertemu. Bagi para muda-mudi yang sedang jatuh cinta, makan bersama adalah saat-saat yang indah dan saling berbagi kasih. Sang pria menawarkan pelayanan dengan mengambilkan makanan kesukaan sang kekaksih demikian pula sebaliknya. Bagi komunitas orang percaya – kristen – makan bersama sering disebut perjamuan kasih, disana kita saling berbagi cerita/iman dan pergumulan.
  2. Makan Sebagai Ucapan Syukur
    Kalau di atas kita mendengar meja makan adalah ujian. Sisi lainnya, setiap kali kita makan, kita diingatkan bahwa Allah masih memelihara hidup dan kebutuhan kita. Mengucapan syukur adalah hal yang patut kita panjatkan. Bersyukurlah untuk apa yang bisa kita makan dan bukan semata apa yang bisa memuaskan kita semata. Rasul Paulus menasehati kita untuk mengucap syukur senantiasa. Mari kita ingatkan keluarga kita untuk senantiasa bersyukur atas makanan yang ada dan yang bisa dimakan hari ini.
  3. Makan Sebagai Sakramen
    Sakramen dari kata sakramentum artinya dikuduskan/dikhususkan. Setiap kali kita makan kita ingat kemurahan Allah yang mengkhususkan perhatiannya yang selalu menyediakan makanan buat kita. Tuhan Yesus disuatu kesempatan mengajarkan doa Bapa Kami: “Berikanlah pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Menjelang penyaliban-Nya, Tuhan Yesus mengambil roti dan cawan mengucap syukur dan membagikan kepada murid-murid-Nya. Dan selanjutnya Yesus berpesan setiap kali makan dan minum kamu mengingat akan Aku. Jadi setiap kali kita makan kita ingat makan adalah sakramen yang perlu kita hormati. Jangan dalam pesta pora dan mabuk karena makan, sehingga kita lupa menjaga kesopanan hidup dan kita terlihat seperti orang dunia yang tidak mengenal Allah. Paulus pernah menasehati orang-orang yang ada di Roma tentang hal itu (Rom. 13:13)
  4. Makan Sebagai Intimasi/Keintiman
    Makan bukan saja menciptakan keintiman antara suami/istri, orang tua dengan anak, sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran, tetapi juga intimasi bersama dengan Tuhan. Wahyu 3:20 Yesus menawarkan diri-Nya untuk dijamu makan malam bersama. Kita bisa bayangkan bila persekutuan kita dengan istri anak atau kerabat dimeja makan ada Yesus pasti sangat indah dan berkesan.
  5. Makan Sebagai Pesta
    Penyambutan anak yang hilang dengan memotong domba yang terbaik untuk pesta penyambutan. Luk. 15:23 “Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita.” Dan makan juga sebagai pesta perjamuan nikah Anak Domba Allah (Why.19:9). Kita diingatkan makan adalah pesta penyambutan kita kembali kepada Allah. Kita yang tidak layak diundang pada perjamuan itu. Alkitab memberitahu kita dari Kejadian hingga Wahyu Allah selalu menyediakan hidangan makan buat kita.

“Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Tuhan” (1 Kor. 10:31)